Assalammualaikum Wr.Wb.
Bro en Sis rahimakumullah,. Tema untuk mengkritisi tahun baru seperti ini
sudah berulang kali dibahas. Insya Allah para pecinta dakwah nggak bakalan
bosan ngingetin manusia yang nggak bosan berbuat maksiat. Selama hayat masih
dikandung badan, dakwah akan terus digelorakan. Jika bukan karena ingin
menggapai ridho Allah Ta’ala untuk menyelamatkan manusia lainnya dari keburukan
dan kemungkaran, untuk apa capek-capek ngingetin manusia yang lupa diri dan bangga
berbuat maksiat. Jadi, jika saya mengangkat tema ini lagi—dan saya yakin banyak
kaum muslimin yang paham juga mengangkat tema sejenis akhir-akhir ini—maka itu
bagian dari kepedulian dan cinta kepada kamu semua. Jangankan bagi kamu yang
masih polos dan suka ikut-ikutan dalam berbuat, bagi mereka yang udah mulai
suka ngaji pun kadang kepeleset juga dalam urusan ini. Itu sebabnya, tetap
harus hati-hati bin waspada.
Mengapa tak boleh rayakan tahun baru?
Sebagai muslim, kita wajib menjadikan akidah dan syariat Islam sebagai
ukuran dan rujukan dalam setiap pendapat dan perbuatan kita sehari-hari. Muslim
yang beriman tentunya memiliki perhatian khusus terhadap Islam. Mungkin di
antara kamu ada yang bilang, “Kan cuma merayakan biasa aja sama seperti acara
lainnya, apanya yang salah?” Ya, alasan itu bisa dijawab begini: “Kan cuma
pergantian waktu seperti pada umumnya, kenapa harus dirayakan—bahkan dengan
hal-hal yang bernuansa maksiat. Jelas itu kesalahannya.”
Bro en Sist, perayaan tahun baru masehi bukanlah warisan ajaran Islam.
Selama ini, kaum muslimin generasi terdahulu hingga sekarang yang paham tentang
Islam hanya mengetahui dan meyakini bahwa hari raya dalam Islam hanya dua,
yakni ‘Idul Adha dan ‘Idul Fithri. Anas bin Malik mengatakan, “Orang-orang
Jahiliyah dahulu memiliki dua hari (hari Nairuz dan Mihrojan) di setiap tahun
yang mereka senang-senang ketika itu. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tiba di Madinah, beliau mengatakan, “Dulu kalian memiliki dua hari untuk
senang-senang di dalamnya. Sekarang Allah telah menggantikan bagi kalian dua
hari yang lebih baik yaitu hari Idul Fithri dan Idul Adha” (HR
an-Nasa’i No. 1556)
Nah, karena perayaan tahun baru bukanlah ajaran Islam, maka kaum
muslimin yang merayakannya dianggap tasyabbuh (menyerupai atau
meniru-niru orang kafir) dalam budaya mereka. Rasulullah shalallahu
‘alaihi wassalam bersabda, “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum,
maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR Ahmad dan Abu Dawud)
Menyerupai orang kafir (tasyabbuh bil kuffar) ini terjadi dalam hal
pakaian, penampilan dan kebiasaan (termasuk budaya dan pendapat-pendapat mereka
tentang kehidupan). Tasyabbuh di sini diharamkan berdasarkan dalil al-Quran,
as-Sunnah dan kesepakatan para ulama (ijma’).
Dari Abu Sa’id al-Khudri, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallambersabda,“Sungguh kalian akan mengikuti jalan
orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta
sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob, pasti
kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai
Rasulullah, Apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau
menjawab, “Lantas siapa lagi?” (HR Muslim, No. 2669)
Nah, di sisi lain, perayaan tahun baru juga bermasalah. Coba aja lihat deh,
mereka yang merayakan tahun baru itu rela begadang, menyia-nyiakan
waktu, dan bahkan rawan perbuatan maksiat lainnya seperti
perzinaan. Orang yang merayakan tahun baru tak sekadar yang turun
ke jalan lalu meniup terompet dan menyulut kembang api, tetapi ada juga yang
demi merayakan tahun baru malah berzina dengan pacarnya di tempat-tempat
tertentu. Seolah, tahun baru menjadi momen spesial bagi mereka. Tetapi
sayangnya, yang dianggap spesial itu justru dalam berbuat maksiat.
Manfaatkan waktumu
Waktu memang ibarat pedang. Setiap detik ia memenggal kesempatan kita,
dengan tak kenal kompromi. Kejam, kita rasa memang demikian. Tapi alangkah
lebih kejamnya lagi apabila kita tidak memanfaatkannya untuk kebaikan. Itu
namanya kita menzalimi diri kita sendiri. Sebab, ini persoalan bagaimana kita
mengatur waktu yang terbatas yang diberikan oleh Allah Swt. Jangan sampai kita
gunakan untuk hal-hal yang nggak ada manfaatnya.
Terbatas? Memang demikian faktanya, kawan. Andai saja usia kita di dunia
ini 60 tahun. Maka itulah batas hidup kita di dunia ini. Ukuran panjang dan
pendek, adalah hitungan logika kita, tapi tetap pada hakikatnya itu terbatas.
Jadi, jangan sia-siakan waktumu.
Bro en Sis rahimakumullah,. Sebagai manusia, kita emang terbatas dan nggak
sempurna. Itu sebabnya, kita jangan sampe melupakan siapa kita dan misi
keberadaan kita di dunia ini. Ini wajib kita pahami betul, sobat. Kalau nggak?
Wah, bisa kacau-beliau tuh. Coba aja perhatiin orang yang nggak sadar siapa
dirinya dan misi adanya dia dunia ini, hidupnya suka semau gue. Seakan hidup
nggak kenal waktu. Bahkan bagi orang yang kehidupannya diberikan kebahagiaan
berlebih oleh Allah, suka lupa dan merasa ia akan hidup selamanya di dunia ini.
Apalagi bila kita menjalaninya dengan serba mudah dan indah. Nikmat memang.
Namun, sebetulnya kita sedang digiring ke arah tipu daya yang bakal
menyesatkan kita bila kita tak segera menyadarinya. Rasulullah saw bersabda: “Ada
dua nikmat, dimana manusia banyak tertipu di dalamnya; kesehatan dan
kesempatan.” (HR Bukhari)
Benar, bila badan kita sehat, segar, dan bugar, bawaannya seneng dan merasa
bahwa kita nggak bakalan sakit. Kalo lagi sehat nih, diajak jalan kemana aja
kita antusias (termasuk merayakan tahun baru). Makan apa aja kita paling duluan
ngambil dan mungkin paling gembul. Waktu kita sehat, kita lupa bahwa kita juga
bakal sakit. Nggak heran kalo kemudian kita melakukan apa saja sesuka kita,
termasuk yang deket-deket dengan dosa. Kesehatan memang nikmat yang bisa menipu
kita. Melupakan kita dari aktivitas yang seharusnya kita lakukan.
Begitu pula dengan kesempatan. Kalo lagi ada waktu luang, bawaan kita
pengennya nyantai aja. Coba, kalo tiba musim liburan, serta merta kita bersorak
kegirangan. Bukan karena kita bisa mengerjakan aktivitas yang nggak bisa
dilakukan saat kita sekolah, tapi karena itu adalah semata-mata waktu luang.
Kita menganggap bahwa itulah saatnya bersantai dan melepaskan beban penderitaan
selama belajar di sekolah.
Belum lagi bahaya yang bakal kita terima saat kita menyia-nyiakan waktu.
Paling nggak ada tiga akibat; kekosongan akal, kekosongan hati, dan kekosongan
jiwa.
Orang yang nggak merasa bahwa waktu itu begitu berharga dan bernilai, maka
biasanya orang tersebut malas untuk belajar. Kalo udah malas belajar, alamat
akal kita kekurangan pasokan ilmu.
Ujungnya kita bisa jadi nggak mampu
memfungsikan akal kita untuk mengetahui Rabb kita, untuk mengetahui siapa kita,
keberadaan kita dan mau ngapain kita di dunia. Kalo begitu, kita nggak ada
bedanya sama “teman-teman” di Ragunan. Ih, amit-amit ya? Jangan sampe deh.
Firman Allah Swt.: “Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya
pada sisi Allah ialah orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti
apa-apapun.” (QS al-Anfâl [8]: 22)
Begitu pentingnya akal ini, hingga Umar bin Khattab radhiallaahu ‘anhu
pernah mengatakan, “Pokok dasar seseorang adalah akalnya, keluhurannya adalah
agamanya, dan harga dirinya adalah akhlaknya.” Tuh, catet ya!
Tuh, buktinya sekarang. Ketika banyak orang ngasih nasihat agar jangan
merayakan tahun baru, ternyata banyak juga yang tak mempedulikannya. Tak lagi
dianggap sebagai bentuk peringatan, malah dilecehkan.
Kalo kamu mulai menyia-nyiakan waktumu, maka itu artinya kamu sudah
mengarahkan langkah kamu ke dalam jurang kehancuran. Kosong akal, kosong hati,
dan kosong jiwa. Kalo udah begitu, alamat kehidupan ini terasa garing dan nggak
bermakna. Padahal, kehidupan di dunia ini cuma sesaat dan amat semu. Jadi,
mulai sekarang dewasalah Bro en Sis. -Nggak usah ikut-ikutan merayakan tahun
baru, nggak ada manfaatnya. Sebaliknya hal itu justru membawa mafsadat
(kerusakan) bagi akidah kita, juga kepribadian kita. Hindari dan jauhi pesta
jahiliyah tersebut. Ok? Sip! [Faghfirlana | Twitter@FaghfirlanaAlFa]
hm lumayan jg aku nak bcony. thanks fa :)
BalasHapusOke dul..
BalasHapus